Fikih Pengurusan Jenazah (3): Mengantarkan Jenazah ke Makam
Pada bagian ke 3 ini kami akan coba melanjutkan pembahasan fikih pengurusan jenazah terkait mengantarkan jenazah ke makan. Berikut pembahasannya.
[lwptoc]
Bersegera memakamkan mayit
Hendaknya bersegera untuk memakamkan mayit, tidak menundanya terlalu lama. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
أَسْرِعُواْ بالجنازةِ ، فإن تَكُ صالحةً فخيرٌ تُقَدِّمُونَهَا ، وإن يَكُ سِوَى ذلكَ ، فشَرٌّ تضعونَهُ عن رقابكم
“Percepatlah pengurusan jenazah. Jika ia orang yang saleh di antara kalian, maka akan jadi kebaikan baginya jika kalian percepat. Jika ia orang yang bukan demikian, maka keburukan lebih cepat hilang dari pundak-pundak kalian.” (HR. Bukhari no. 1315, Muslim no. 944)
Membawa mayit ke pemakaman
Ketika mayit telah dimandikan, dikafani, dan telah disalatkan, maka ia dibawa ke pemakaman. Ulama sepakat bahwa hukumnya fardu kifayah bagi kaum muslimin untuk membawa mayit ke pemakaman. Penduduk suatu kaum berdosa jika ada yang meninggal di tengah mereka dan tidak dibawa ke pemakaman.
An-Nawawi rahimahullah mengatakan,
حمل الجِنازَة فرض كفاية ولا خلاف فيه
“Membawa jenazah (ke pemakaman) hukumnya fardu kifayah dan tidak ada perbedaan pendapat dalam masalah ini.” (Al-Majmu‘, 5: 270)
Dan yang dianjurkan adalah jenazah dibawa langsung oleh orang-orang, bukan dengan kendaraan. Namun, boleh membawanya dengan kendaraan jika ada kebutuhan.
Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Yang lebih utama adalah membawa jenazah dengan keranda. Karena dengan demikian, para pengiring akan secara langsung membawa jenazah. Karena ketika iring-iring jenazah melewati pasar, mereka akan mengetahui itu adalah jenazah dan mereka akan mendoakannya. Demikian juga akan lebih jauh dari perasaan berbangga dan sombong. Kecuali jika ada kebutuhan atau dalam kondisi darurat, maka tidak mengapa membawa jenazah dengan kendaraan. Semisal ketika sedang hujan, atau panas yang sangat terik, atau dingin yang sangat dingin atau karena sedikitnya orang yang mengiringi jenazah.” (Majmu’ Fatawa war Rasail, 17: 166)
Mengiringi jenazah ke makam
Ulama 4 mazhab sepakat tentang dianjurkannya laki-laki untuk mengantarkan jenazah ke makam. Berdasarkan hadis dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
حَقُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ خَمْسٌ رَدُّ السَّلَامِ وَعِيَادَةُ الْمَرِيضِ وَاتِّبَاعُ الْجَنَائِزِ وَإِجَابَةُ الدَّعْوَةِ وَتَشْمِيتُ الْعَاطِسِ
“Hak sesama muslim ada lima: (1) membalas salamnya, (2) menjenguknya ketika ia sakit, (3) mengikuti jenazahnya yang dibawa ke pemakaman, (4) memenuhi undangannya, dan (5) ber-tasymit ketika ia bersin.” (HR. Bukhari no. 1164, Muslim no. 4022)
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
حَقُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ سِتٌّ، قِيل: مَا هُنَّ يَا رَسُول اللَّهِ؟ قَال: إِذَا لَقِيتَهُ فَسَلِّمْ عَلَيْهِ، وَإِذَا دَعَاكَ فَأَجِبْهُ، وَإِذَا اسْتَنْصَحَكَ فَانْصَحْ لَهُ، وَإِذَا عَطَسَ فَحَمِدَ اللَّهَ فَشَمِّتْهُ، وَإِذَا مَرِضَ فَعُدْهُ، وَإِذَا مَاتَ فَاتْبَعْهُ
“Hak sesama muslim itu ada enam.” Para sahabat bertanya, “Apa saja wahai Rasulullah?” Nabi menjawab, “(1) Jika engkau bertemu dengan saudaramu, ucapkanlah salam kepadanya. (2) Jika ia mengundangmu, maka penuhilah. (3) Jika ia meminta nasihat kepadamu, maka nasihatilah ia. (4) Jika ia bersin dan mengucapkan hamdalah, maka doakan ia dengan ‘yarhamukallah’. (5) Jika ia sakit, maka jenguklah ia. (6) Jika ia meninggal, maka antarkanlah jenazahnya” (HR. Muslim no. 2162)
Adapun bagi wanita, ada perselisihan di antara ulama apakah terlarang atau tidak bagi wanita untuk ikut mengantarkan jenazah ke makam. Karena terdapat hadis dari Ummu Athiyyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata,
نُهِينَا عن اتِّباعِ الجنائِزِ، ولم يُعْزَمْ علينا
“Dahulu kami dilarang oleh Nabi untuk mengiringi jenazah. Namun, kami tidak dilarang dengan tegas.” (HR. Bukhari no. 1278, Muslim no. 938)
Ulama Syafi’iyah dan Hanabilah, mengatakan hukumnya makruh. Sedangkan ulama Hanafiyah mengatakan hukumnya haram. Pendapat kedua ini yang dikuatkan oleh Syekh Ibnu Baz dan Syekh Ibnu Al-‘Utsaimin rahimahumallahu ta’ala.
Masalah keranda mayit
Yang dianjurkan adalah tidak menutup keranda mayit ketika mayit sedang dibawa ke pemakaman dan membiarkannya terbuka dan terlihat. Ini pendapat yang lebih tepat. Adapun ulama Malikiyyah mengatakan bahwa menutup keranda mayit hukumnya boleh, sedangkan ulama Hanabilah mengatakan hukumnya dianjurkan.
Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah mengatakan,
لا يُشْرَع تغطيةُ المَيِّت بغطاءٍ مكتوبٍ عليه آياتٌ من القرآنِ كآيةِ الكُرْسِيِّ، أو غيرها؛ فليس لذلك أصْلٌ، وهو في الحقيقة امتهانٌ لكلامِ اللهِ عَزَّ وجَلَّ، بجعْلِه غطاءً يَتَغَطَّى به الميِّتُ، وهو ليس بنافعٍ المَيِّتَ بشيءٍ
“Tidak disyariatkan menutup keranda mayit dengan kain yang bertuliskan ayat Al-Qur’an seperti ayat Kursi atau ayat lainnya. Perbuatan seperti ini tidak ada asalnya. Perbuatan demikian juga sebenarnya termasuk perendahan terhadap Kalamullah ‘Azza Wajalla dengan menjadikannya ayat Allah sebagai penutup mayit. Dan hal ini pun tidak memberi manfaat kepada mayit sedikit pun.” (Majmu’ Fatawa war Rasail, 17: 168)
Namun, ini berlaku untuk mayit laki-laki. Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan,
أمَّا الرجُلُ فلا يُسَنُّ فيه هذا، بل يبقى كما هو عليه؛ لأنَّه فيه فائدة، وهي قوَّةُ الاتِّعاظ إذا شاهده مَن كان معه بالأمسِ جُثَّةً على هذا السَّريرِ، وإن سُتِرَ بعباءةٍ كما هو معمولٌ به عندنا فلا بأس
“Adapun mayit laki-laki, tidak dianjurkan untuk ditutup kerandanya. Bahkan, dibiarkan apa adanya. Karena dengan demikian, ada manfaat yang bisa diambil. Yaitu, para pengantar jenazah bisa lebih mengambil pelajaran ketika melihat jenazah yang masih bersama mereka kemarin, sekarang sudah terbaring di keranda. Namun, andaikan mayit ditutup dengan jubah sebagaimana yang biasa dilakukan di tempat kita (Saudi Arabia), maka tidak mengapa.” (Asy-Syarhul Mumthi’, 5: 357)
Dan para ulama 4 mazhab sepakat dianjurkannya menutup keranda mayit, jika mayitnya perempuan. Untuk menjaga kehormatan mayit dan mencegah terjadinya fitnah (godaan).
Di mana posisi para pengantar jenazah?
Para ulama membahas tentang mana yang lebih utama tentang posisi para pengantar ketika mengantarkan jenazah. Mereka terbagi menjadi 3 pendapat:
Pertama, pendapat ulama yang mengatakan bahwa pengantar jenazah lebih utama berada di depan jenazah. Karena para pengantar adalah syafi‘ (pemberi syafa’at), dan pemberi syafa’at lebih berhak berada di depan. Ini adalah pendapat jumhur ulama, yaitu mazhab Maliki, Syafi’i, dan Hambali.
Kedua, para pengantar jenazah lebih utama berada di belakang jenazah. Karena ini yang lebih sesuai dengan lafaz hadis,
إِذَا مَاتَ فَاتْبَعْهُ
“Jika ia meninggal, maka ikutilah jenazahnya …” (HR. Muslim no. 2162)
Tidak disebut ittiba‘ (mengikuti), kecuali berada di belakang.
Ketiga, pendapat yang mengatakan bahwa baik di depan atau di belakang sama utamanya. Karena ini lebih memudahkan para pengantar dan lebih mempercepat prosesi pemakaman. Ini adalah salah satu pendapat dalam mazhab Hambali. Juga dikuatkan oleh Ath-Thabari, Asy-Syaukani, dan Syekh Ibnu Al-‘Utsaimin.
Bolehkah para pengantar menggunakan kendaraan?
Jika jenazah dibawa ke pemakaman dengan berjalan kaki, maka dimakruhkan bagi para pengantar untuk menggunakan kendaraan. Ini adalah pendapat mazhab Maliki, Syafi’i, dan Hambali.
Di antara dalilnya adalah hadis dari Tsauban radhiyallahu ‘anhu,
أنَّ رسولَ الله صلَّى الله عليه وسلَّم أُتِيَ بدابَّةٍ وهو مع الجِنازة فأبى أن يَرْكَبَها، فلمَّا انصرف أُتِيَ بدابَّةٍ فَرَكِبَ، فقيل له، فقال: إنَّ الملائكةَ كانت تَمْشي، فلم أكُنْ لِأَرْكَبَ وهم يَمشونَ، فلمَّا ذهبوا رَكِبْتُ
“Didatangkan hewan tunggangan untuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika beliau sedang mengiringi jenazah. Beliau pun enggan untuk menaikinya. Lalu, ketika selesai memakamkan jenazah, didatangkan kembali hewan tunggangan untuk beliau dan beliau menaikinya. Ketika ada yang bertanya tentang apa alasan beliau, beliau menjawab, ‘Sesungguhnya (ketika mengiringi jenazah) aku melihat para Malaikat berjalan kaki, sehingga aku pun enggan untuk menaiki kendaraan ketika mereka berjalan kaki. Namun, ketika mereka sudah pergi, aku pun menaikinya.’” (HR. Abu Daud no. 3177, disahihkan Al-Albani dalam At-Ta’liqat Ar-Radhiyyah, 1: 458)
Namun, tidak mengapa menggunakan kendaraan jika mayit dibawa dengan kendaraan juga.
Bacaan ketika mengantarkan jenazah
Tidak ada bacaan khusus yang diucapkan oleh para pengiring jenazah ketika sedang mengantarkan jenazah. Namun, hendaknya mereka memperbanyak doa untuk kebaikan mayit dan mengantarkan jenazah dengan banyak berzikir, banyak mengingat kematian, dan mengkhusukkan hati. Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan,
لا يُستَحَبُّ رَفْعُ الصَّوتِ مع الجِنازَة؛ لا بقراءةٍ ولا ذِكْرٍ ولا غيرِ ذلك؛ هذا مذهَبُ الأئمَّة الأربعة، وهو المأثورُ عَنِ السَّلَف من الصَّحابة والتابعين، ولا أعلَمُ فيه مخالِفًا
“Tidak dianjurkan mengeraskan suara ketika mengiringi jenazah. Baik itu berupa bacaan Al-Qur’an, bacaan zikir, atau suara lainnya. Ini adalah mazhab Imam madzhab yang empat. Ini pula yang diriwayatkan dari para salaf, baik dari para sahabat, atau para tabiin. Dan saya tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat dalam masalah ini.” (Majmu’ Al-Fatawa, 24: 294)
Qais bin ‘Abbad rahimahullah, seorang ulama tabiin, mengatakan,
كانوا يَسْتَحبُّون خَفْضَ الصَّوتِ عند الجنائِزِ، وعند الذِّكْرِ، وعِندَ القِتالِ
“Dahulu para sahabat menganjurkan untuk merendahkan suara ketika mengiringi jenazah, ketika zikir, dan ketika berperang.” (HR. Ibnul Mubarak dalam Az-Zuhd [247], Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf [11201], disahihkan Al-Albani dalam Ahkamul Janaiz [92])
Wallahu a’lam.
—
Penulis: Yulian Purnama
Artikel: Muslim.or.id
Artikel asli: https://muslim.or.id/82349-fikih-pengurusan-jenazah-3-mengantarkan-jenazah-ke-makam.html